PERTEMPURAN UDARA DILANGIT JEPANG DAN JEPANG MENYERAH PADA TANGGAL 15 AGUSTUS 1945
PERTEMPURAN UDARA DILANGIT JEPANG DAN JEPANG MENYERAH PADA TANGGAL 15 AGUSTUS 1945
Pertempuran udara di Langit Jepang pada
tahun 1944 hingga 1945, adalah pertempuran antara hidup dan matinya sebuah negara. Jepang yang pada saat itu sudah sangat terdesak, menggunakan segala sumber daya, dan segala cara untuk menahan laju armada pesawat pembom Sekutu yang secara sistematis menghancurkan pusat industri dan kemudian kota-kota di Jepang secara keseluruhan.
Hingga pertengahan tahun 1942, Jepang memegang dominasi di langit Pasifik dengan pesawat-pesawat tempur anyar seperti Mitsubishi Zero yang terkenal sangat lincah dibanding pesawat-pesawat sekutu yang ada pada saat itu, hingga membuat para petinggi Jepang merasa berada diatas angin. Sehingga mereka merasa tidak perlu untuk memperkuat pertahanan udara di tanah air Jepang sendiri, walau ibukota Tokyo sejak awal mendapat prioritas dalam strategi pertahanan militer Jepang.
Semua berubah pada tanggal 18 April 1942, ketika 16 buah pesawat pembom medium Amerika Serikat North American B-25 Mitchell (Dinamai dari Brigjen William Mitchell) lepas landas dari kapal induk USS Hornet di tengah samudra Pasifik, terbang menuju kepulauan Jepang dan membom langsung beberapa kota di Jepang. Peristiwa ini samasekali tidak diduga oleh para petinggi militer, yang mengira bahwa pertahanan laut dan udara di Pasifik sudah mumpuni sehingga tak satupun pesawat musuh dapat “nyelonong” masuk ke kepulauan Jepang.
Peristiwa yang dikenal dengan nama
Doolittle Raid ini menjadi faktor utama Jepang untuk menyerang kepulauan Midway. Sebuah keputusan yang pada akhirnya membuat Jepang kalah telak di Midway dengan empat kapal induk ditenggelamkan sekaligus, dikarenakan Sekutu sudah menyadap komunikasi Intelejen Jepang perihal serbuan ke Midway.
Kekalahan telak Angkatan Laut Jepang pada pertempuran Midway menjadi titik balik kehancuran Jepang pada Perang Pasifik, karena tidak mampu menggelar kekuatan udara secara efektif lagi. Perlahan-lahan, Jepang mulai beralih ke posisi bertahan / defensive , disebabkan karena tidak mampu lagi menggelar operasi udara skala besar setelah kekalahan telak di Midway. Pulau demi pulau yang telah dikuasai Jepang pada awal perang Pasifik satu per satu direbut kembali oleh Sekutu.
Fhoto Hirosima sebelum dan sesudah di Bom.
Titik kehancuran jepang lantas dimulai setelah Filipina dan Saipan jatuh ke Sekutu pada tahun 1944, yang mengakibatkan terputusnya suplai bahan mentah dari Hindia Belanda, dan membuat kepulauan Jepang lebih dekat dalam jangkauan pesawat pembom Amerika Serikat paling anyar, Boeing B-29 Superfortess. Perlu dicatat bahwa dua bulan sebelum Saipan jatuh, Amerika mulai melakukan operasi pemboman terhadap kepulauan Jepang dari India dan China, dengan hasil tidak optimal dikarenakan jarak tempuh yang terlalu jauh, permasalahan dengan suplai bahan bakar, berbagai masalah teknis yang muncul dari pesawat pembom B-29 yang masih Anyar hingga para kru yang belum terlatih baik. Namun, dengan dimulainya operasi pemboman langsung ke Kepulauan Jepang, hal ini memaksa Jepang untuk lebih memperkuat pertahanan udara dalam negeri.
Dengan jatuhnya kepulauan Saipan, Sekutu memiliki pangkalan yang cukup dekat untuk memulai operasi pemboman jarak jauh terhadap Jepang dengan efektif dan intensitas yang lebih tinggi. sehingga pada akhirnya hampir seluruh kekuatan udara Jepang sepenuhnya terfokus mempertahankan tanah air sendiri mulai dari pertengahan tahun 1944. Operasi pemboman oleh B-29
Superfortress semakin sering dilakukan, walau pada awalnya tetap tidak mencapai hasil yang optimal.
Pesawat pembom Boeing B-29
Superfortress adalah pesawat pembom tercanggih Amerika Serikat yang ikut serta dalam Perang Dunia 2. Dibanding dengan rekan sejawatnya, Boeing B-17
Flying Fortress dan Consolidated B-24
Liberator , B-29 Superfortress memiliki kecepatan terbang yang lebih tinggi. Pesawat ini juga mampu membawa muatan bom lebih banyak, memiliki persenjataan pertahanan diri lebih banyak dan mematikan, serta mampu terbang lebih jauh dan lama. B-29 inilah yang menjadi cikal bakal Strategic Bomber Force yang akan berperan banyak dalam Perang Dingin nantinya.
Di lain pihak, Jepang mengandalkan pesawat-pesawat tempur seperti Mitsubishi A6M Zero , Nakajima J1N
Gekko , Mitsubishi J2M Raiden milik Angkatan Laut. Juga Nakajima Ki-44
Shoki , Kawasaki Ki-45 Toryu , Kawasaki Ki-61 Hien untuk menyergap dan menembak jatuh pesawat-pesawat pembom B-29 yang berseliweran di langit Jepang. Pesawat-pesawat Jepang selalu kesulitan dalam menembak jatuh B-29 dikarenakan pesawat jepang tidak mampu beroperasi optimal di ketinggian operasional B-29 (9000-10.000 meter dpl.).
Operasi pemboman ke kota-kota Jepang yang dilakukan oleh armada pembom B-29 pada awalnya tidak berhasil secara optimal, dikarenakan ketinggian terbang yang terlalu tinggi (9000-10000m dpl) dalam melepas muatan bom yang dibawa, sehingga akurasi pemboman menurun drastis. Tetapi di ketinggian tersebut, hampir semua pesawat-pesawat tempur jepang tidak mampu beroperasi optimal.
Mesin pesawat tempur jepang tidak dilengkapi alat yang dibutuhkan untuk terbang dengan optimal di ketinggian tinggi seperti Turbo supercharger. Karakteristik pesawat tempur Jepang yang dikenal “ringkih” menjadi sasaran empuk bagi senjata pertahanan diri dari pesawat pembom. Dalam situasi demikian, para pilot Jepang pun mengembangkan taktik “ Kamikaze udara” dengan menabrakkan diri ke pembom B-29.
Pada bulan Februari tahun 1944, Jenderal Curtis LeMay yang baru saja ditugaskan untuk mengambil alih Komando Pembom XXI / XXI Bomber Command melakukan evaluasi dari taktik dan strategi yang dijalankan dalam operasi pemboman ke kota-kota di Jepang.
LeMay memutuskan untuk mengubah pendekatan taktik dan strategi yang ditempuh, dengan melakukan serangkaian operasi pemboman pada malam hari menggunakan bom bakar /
incendiary bomb. Ia memerintahkan agar pesawat-pesawat pembom B-29 terbang di ketinggian rendah. Pendekatan taktik ini digunakan supaya pembom B-29 mampu membawa muatan bom lebih banyak, dan tidak perlu membuang banyak bahan bakar untuk terbang mencapai ketinggian 9000 meter ke atas.
Pendekatan strategi yang dilakukan oleh LeMay berhasil dengan hasil yang mengerikan. Kota-kota di Jepang yang sebagian besar konstruksi bangunannya masih menggunakan kayu menjadi sasaran empuk dari bom-bom bakar M-69 / M-69 Incendiary Bomb yang berisi cairan pembakar Napalm yang mampu membakar apa saja dalam waktu lama hingga kehabisan oksigen atau bahan pembakar.
Contoh hasil dari operasi Firebombing ini adalah pada malam tanggal 9 maret 1945, hampir 70 persen kota Tokyo terbakar habis dalam semalam setelah dihujani 1665 ton bom bakar M-47 dan M-69 dari 279 pesawat pembom B-29. Diperkirakan sekitar 100.000 lebih penduduk Tokyo tewas dalam semalam dalam operasi pemboman api ke Tokyo yang dikenal dengan nama Operation Meetinghouse ini.
Dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, yang disusul dengan menyerahnya Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, perang udara di langit Jepang berakhir. Jepang kehilangan sekitar 4200 unit pesawat tempur. Sementara itu, 414 unit pembom B-29 tertembak jatuh dan hancur selama hampir dua tahun pertempuran di langit tanah air Jepang kala itu.(litbangMPNI)
0 Komentar: