CERPEN : Dinding Cahaya Seketika Berubah Seperti Layar Kaca Raksasa Yang Memperlihatkan Adegan Seorang Pemuda Terhempas Keras Di atas Bukit Berpasir.

 


CERPEN : Dinding Cahaya Seketika Berubah Seperti Layar Kaca Raksasa Yang Memperlihatkan Adegan Seorang Pemuda Terhempas Keras Di atas Bukit Berpasir.

www.mediapadjajaran.com - Pandeglang, Banten - Senja di ufuk barat telah berada di ujung kelambu malam. Bulan purnama mulai mengintip malu-malu di antara dahan pepohonan yang besar dan tinggi menjulang. Hanya deru angin yang terdengar, tidak ada kepakan sayap serangga ataupun burung yang kembali pulang. Di antara lebatnya belantara, Kira Larasati termangu diam di sebuah persimpangan jalan setapak penuh semak belukar. 

"Hari hampir gelap.." 

Kira Larasati menengadahkan kepala. Dalam benak, ia meyakinkan keberadaan sinar sang dewi malam dapat memandu kakinya berjalan di tengah hutan. 


"Kiri atau kanan?" 

Duah buah jalan setapak yang nyaris tertutup semak belukar, memaksa gadis beraroma melati itu tertegun dalam kebimbangan.

"Apa yang kau tunggu Kira? Pilihlah jalan sesuai hati nuranimu." 

"Seandainya aku tidak meninggalkan yang lain, mungkin aku tidak akan tersesat!"

Suara-suara pikiran Kira Larasati mulai saling berdebat di dalam ruang batinnya. 

Malam yang mulai merayap semakin mengiris-iris cahaya bulan di balik dedaunan. 

"Hidupmu adalah pilihanmu, dan takdirmu ada di tanganmu sendiri. Bukan di tangan orang lain. Kenapa kamu harus meminta mereka memilihkan jalanmu?" 

"Aku terlalu takut untuk menerima kenyataan di ujung jalan takdirku.." 

"Itulah dirimu. Kau terlalu takut dengan sesuatu yang belum kau lihat dengan mata kepala sendiri." 

"Bagaimana aku bisa menentukan takdirku jika aku sendiri tidak tahu kemana ujung jalan persimpangan ini?" 

"Itu karena kau memilih jalan takdir dengan nafsumu, bukan dengan mata hati! Meski kau berjalan pada jalan yang terang benderang pun, selamanya kau akan merasakan kegelapan." 

"DIAMMM!!!" 

Kira Larasati berteriak keras. 

Perseteruan antara hati dan pikirannya sendiri membuat pelupuk matanya mulai digenangi air kesedihan. 

Belum sempat gadis beraroma melati itu menghapus genangan air mata, suara ledakan cahaya di balik gunung membuatnya terkejut. Pada detik berikutnya, Kira Larasati menyaksikan sinar putih perak merayap pelan membentuk kubah cahaya raksasa menutupi hampir seluruh bukit dan lembah di seberang tempatnya berdiri. 

"App..ppa itt..ttu?" 

Hutan belantara yang hampir tertutup gelapnya malam, dalam sekejap terang benderang terkena limpahan cahaya putih keperakan. Kubah cahaya terus melebar, dan terus membesar membentuk tembok raksasa. Dinding tembus pandang yang berasal dari seberang bukit itu berakhir tepat di ujung jalan, tempat Kira Larasati masih berdiam diri dalam kebimbangan.

"Ini.. seperti...di.." 

Kira Larasati mencoba mengingat-ingat kembali kejadian yang pernah dilihat sebelumnya. 

"Ki..ra..!!" 

Sayup-sayup suara yang memanggil namanya membuat gadis itu menyipitkan mata. 

"Kira.. maafkan a..kuu!" 

Suara yang terdengar akrab di telinganya kembali terdengar. 

"Adiraga, kamukah itu??" 

Kira Larasati mencari-cari sosok pemuda yang diyakininya sedang memanggil dari kejauhan. 

Suara erangan kesakitan yang terdengar menggema di tengah belantara itu semakin menambah kebingungannya.

"Ga..?!!" 

Gadis bermata teduh itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling hutan.

"Adiraga!!" 

Suara teriakan Kira Larasati tenggelam di balik pepohonan. 

Satu menit berlalu. Tidak ada jawaban yang diharapkan oleh Kira Larasati. 

"Aneh, kenapa aku seperti mendengar suaranya ya?" 

Kira Larasati memutar tubuhnya. Dinding tembus pandang di hadapannya mulai memudar. Dengan sikap hati-hati dan rasa ragu-ragu, gadis beraroma melati itu mencoba menempelkan telapak tangannya ke dinding cahaya. Wajah Kira Larasati sedikit meringis saat kedua lengannya mulai bergetar pelan. Semakin tangannya mendekat, semakin kuat dinding cahaya itu menarik telapak tangannya. 

"Aa..Adiraga??!!" 

Dinding cahaya seketika berubah seperti layar kaca raksasa yang memperlihatkan adegan seorang pemuda terhempas keras di atas bukit berpasir.

Kira Larasati melihat dengan jelas bagaimana pemuda yang dikenalnya itu berusaha mengulurkan tangan ke arahnya. Sinar mata yang redup, serta suara yang tercekat di tenggorokan, membuat sosok yang tidak berdaya itu semakin mengenaskan. 

"Adiragaaaa!! Kamu kenapa??!!" 

Tidak ada sesuatu yang terjadi sedikitpun meski Kira Larasati terus berusaha memukul-mukul dinding cahaya sekuat tenaga. Jerit suaranya sama sekali tidak terdengar. Badai kepanikannya saat ini seolah tenggelam ke dalam palung samudera yang teramat sunyi. 

Melihat cahaya mata Adiraga yang semakin redup lalu jatuh terkapar tanpa bergerak lagi, Kira Larasati berteriak histeris sekuat-kuatnya. 

"Adiragaaaaaaa!!!!" 

Kira Larasati tiba-tiba tersentak bangun. Mimpi buruknya yang terasa nyata membuat gadis bermata teduh itu termenung. Derai air mata masih tersisa di sela-sela pipinya. 

"Teteh kenapa?"

Suara Azka terdengar dari balik ruangan. Suara ketukan tangannya di pintu kamar terdengar nyaring, memaksa Kira Larasati kembali ke alam sadarnya dengan cepat.

Setelah melirik jam yang menggantung di dinding, Kira Larasati menghela nafasnya yang terasa sesak. Gadis itu lalu beranjak membuka pintu yang dikuncinya dari dalam. Wajah kebingungan Azka dan raut kekhawatiran Ki Tubagus menjadi pemandangan pertama yang dilihat ketika membuka lebar-lebar daun pintu kamar. (Pandu /Media Padjajaran)




0 Komentar:

MOTO

MEDIA PADJAJARAN NUSANTARA INDONESIA
SATUKAN BANGSA BERSAMA MEDIA, BANGSA YANG SATU BANGSA INDONESIA
Alamat : Jalan Pembangunan III No.16 Jakarta Pusat TLP. 0838 7549 4989 - 0815 1706 1151